Geografis
Wilayah Kabupaten Teluk Wondama
sebagian berada di dataran besar Pulau Irian, sebagian merupakan pulau-pulau
dan sebagian lainnya perairan (Teluk Cenderawasih). Luas kabupaten secara
keseluruhan sekitar 4.996 Km2. Secara geografis wilayah kabupaten terletak
antara 132°35’ - 134°45’ BT dan 0°15’ - 3°25’ LS* dengan batas-batas wilayah
sebagai berikut:
Sebelah Utara: Distrik Ransiki
Kabupaten Manokwari dan Teluk Cenderawasih
Sebelah Timur: Teluk Cenderawasih
dan Distrik Yaur Kabupaten Nabire
Sebelah Selatan: Distrik Yaur
Kabupaten Nabire
Sebelah Barat: Distrik Yuri dan
Idoor Kabupaten Teluk Bintuni
Kabupaten Teluk Wondama saat ini
hanya dapat dijangkau melalui udara dan laut. Gerbang utama kabupaten ini
adalah Wasior. Jarak dari ibukota Propinsi (Manokwari) ke Kota Wasior sekitar
110 mil laut.
Layanan penerbangan dari Manokwari
ke Bandara Wasior tersedia seminggu sekali dengan pesawat Twin-Otter
berkapasitas penumpang 18 orang dengan waktu tempuh sekitar 50 menit. Adapun
transportasi laut dengan menggunakan kapal tersedia setiap hari dari Manokwari
ke Dermaga Wasior dan ke Dermaga Windesi. Waktu tempuh dari Manokwari ke
Dermaga Wasior bervariasi menurut jenis kapal, yaitu dari 7 jam hingga 14 jam.
Wilayah pantai barat Papua berasal
dari lempeng tektonik Australia. Kepulauan Auri diduga merupakan garis
pertemuan antara antara lempeng Pasifik dan lempeng Australia, dimana sesar
Ransiki memanjang di bawah laut Teluk Cenderawasih mengikuti garis Kepulauan
Auri ke arah sebelah timur zona sesar Wandamen. Jalur krang di Kepulauan Auri
diduga berasal dari kerucut lava di bawah permukaan laut yang diakibatkan oleh
benturan kedua lempeng tersebut.
Kepulauan Auri merupakan serangkaian
jalur karang bersisi terjal yang membentang mulai dari arah pantai di sebelah
selatan sampai ke dataran karang luas dengan kedalaman tidak beraturan di
sebelah utara. Pulau Maransabadi dan Pulau Anggrameos (dua pulau dalam gugus
Kepulauan Auri) terbentuk dari batu pasir dan batuan lumpur metamorfa kwartose.
Pulau Rumberpon merupakan perbukitan
karang tinggi yang terbentuk dari endapan kapur (calcareous) zaman silurian,
yang diapit oleh batuan Quartenary di bagian timur. Pada Pulau Mioswar,
perbukitan di bagian tengah terbentuk dari batu tulis hitam dan kwarsit zaman
jurassic. Adapun Tanjung Wandamen dan Pulau Roon terbentuk dari batuan
metamorfosa anomali berkadar amfibolit.
Kabupaten Teluk Wondama termasuk
beriklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata tahunan di sebagian besar
wilayah antara 2.000 – 4.000 mm/tahun. Pada kawasan yang berada pada ketingian
>2.000m di atas permukaan laut, yaitu di Pegunungan Wondiboy (bagian barat
Semenanjung Wandamen), curah hujan rata-rata tahunan dapat mencapai lebih dari
4.000 mm/tahun.
Hasil pencatatan curah hujan selama
tahun 2004 oleh stasiun pencatat di Wasior menunjukkan bahwa jumlah curah hujan
sepanjang tahun tersebut adalah sebesar 3.141 mm dengan 185 hari hujan. Curah
hujan tertinggi jatuh pada bulan Februari dan Mei (masing-masing 412 mm dan 416
mm; 16 dan 26 hari hujan) sedangkan terendah pada bulan Desember (162 mm dengan
13 hari hujan). Rata-rata suhu minimum 21,2°C dan maksimum 33°C. Rata-rata
Kelembaban udara 82%.
Demografi
Jumlah penduduk Kabupaten Teluk
Wondama pada tahun 2004 tercatat 19.946 jiwa terdiri dari 4.393 Kepala Keluarga
(KK). Kepadatan penduduk rata-rata 3,99 jiwa/Km2 dengan laju pertumbuhan
2,24 % per tahun.
Sejarah
Wilayah Kabupaten Teluk Wondama
semula merupakan bagian dari Kabupaten Manokwari. Dengan berkembangnya semangat
otonomi daerah dan untuk mempercepat pembangunan di berbagai kawasan, maka pada
tahun 2002 dilakukan pemekaran terhadap Kabupaten Manokwari berdasarkan UU No.
26 Tahun 2002. Berdasarkan UU tersebut, Kabupaten Manokwari dimekarkan menjadi
tiga kabupaten, yaitu: Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Bintuni, dan
Kabupaten Teluk Wondama.
Kabupaten Teluk Wondama diresmikan
dan memperoleh status otonom pada tanggal 12 April 2003. Tahun-tahun pertama
setelah pembentukannya merupakan tahun-tahun transisi dimana belum ada
kelembagaan eksekutif maupun legislatif di Kabupaten ini. Peraturan Daerah pun
– dengan demikian - belum ada, sehingga masih mengacu kepada peraturan yang
berlaku di kabupaten induk. Selain itu, sarana dan prasarana perkantoran pun
masih jauh dari memadai sehingga banyak kegiatan yang masih harus dilakukan
dari kota Manokwari. Selama masa transisi tersebut, pemerintahan Kabupaten
Teluk Wondama dipimpin oleh seorang pejabat Bupati (caretaker), yaitu Bapak
Drs. Alberth H. Torey dan dengan Sekretaris Daerah, yaitu Drs. Frans W. Fymbay.
Tugas pokok pejabat bupati adalah: membentuk kelembagaan pemerintah, menyiapkan
infrastruktur pemerintahan, dan melaksanakan Pemilu 2004.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Kabupaten Teluk Wondama sebagai hasil Pemilu 2004 baru
terbentuk/dilantik pada tanggal 4 April 2005. Adapun Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) baru dilaksanakan pada tanggal 29 Agustus 2005. Dari Pilkada tersebut
terpilih Bapak Drs. Alberth H. Torey dan Dra. Marice Kaikatuy sebagai Bupati
dan Wakil Bupati pertama Kabupaten Teluk Wondama. Pelantikan Bupati dan Wakil
Bupati dilangsungkan pada tanggal 20 Oktober 2005.
Jika menengok kembali sejarah proses
pembentukan serta pelaksanaan Pemerintahan dan Pendidikan di Tanah Papua, maka
pemerintahan di Teluk Wondama sebenarnya telah dimulai sejak masa Pemerintahan
Hindia Belanda dengan kronologi sebagai berikut :
Tahun
1907
Zending mulai melaksanakan kegiatan
di bidang gereja yang berpusat di Yende (P. Roon) bersamaan dengan Pelaksanaan
Pemerintahan yang berpusat di Aisandami.
Tahun
1915
Pos Pemerintahan di pindah ke Warwai
(Sekarang Dotir)
Tahun
1920
Pos Pemerintahan dipindahkan ke
Wasior.
Tahun
1925
Daerah Wandamen (Wasior) ditetapkan
sebagai Onderdistrict di bawah Onderafdeling Manokwari
Tahun
1952
27 tahun kemudian Ransiki ditetapkan
sebagai Onderafdeling, dimana Onderdistrict Wandamen berada dibawah
Onderafdeling Ransiki.
Tahun
1953
Onderdistrict Wandamen ditingkatkan
menjadi Onderafdeling dibawah Afdeling Gelvink Bay.
Tahun
1963
Penyerahan pemerintahan kepada
Pemerintah RI, maka Onderafdeling (HPB) dirubah menjadi KPS Wandamen.
Tahun
1972/1973
Pemerintahan KPS Wandamen dirubah
menjadi Kecamatan. KPS Wandamen dibagi menjadi 2 (dua) kecamatan, yaitu:
Kecamatan Wasior dan Kecamatan Windesi.
Sosial dan Kebudayaan
Suku
Suku besar yang mendiami wilayah
Kabupaten Teluk Wondama adalah suku Wamesa. Selain itu terdapat suku asli
lainnya, yaitu suku Sough. Adapun suku pendatang di wilayah ini berasal baik
dari Papua mupun luar Papua, antara lain dari Biak , Sorong, Merauke, Serui,
Key, Bugis Makassar, Manado, dan Jawa. Jumlah suku pendatang sekitar sembilan
persen dari jumlah keseluruhan penduduk.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, masyarakat setempat masih banyak bergantung pada alam sekitarnya.
Mereka memanfaatkan hutan dan laut sekitar untuk memenuhi kebutuhan pangan,
sandang, maupun perumahan. Umumnya mereka mengambil atau memanfaatkan
sumberdaya alam sekitar seperlunya saja.
Pada masyarakat adat Wamesa di
wilayah pesisir, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil studi pt. Yalhimo (2004),
pemanfaatan sumberdaya alam sekitar adalah sebagai berikut:
• Mangrove, bagian yang dimanfaatkan
meliputi batang, dahan, ranting, serta kulit. Batang/dahan mangrove
dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan rumah, untuk membuat tiang belo, dan untuk
kayu bakar. Kulit manggrove dipakai sebagai bahan obat tradisional untuk
pengobatan penyakit kulit (kudis).
• Pohon Nipah, bagian yang
dimanfaatkan adalah daun yang digunakan untuk membuat atap rumah. Penyaringan
sari nipah juga sering dilakukan untuk diminum karena mengandung alkohol.
• Pohon Sagu, bagian yang
dimanfaatkan adalah batang, pelepah dan daunnya. Batang sagu diproses untuk
diambil patinya. Pati sagu ini menjadi bahan makanan pokok bagi masyarakat.
Adapun pelepahnya digunakan untuk bahan dinding rumah dan daunnya untuk bahan
atap rumah. Pohon sagu yang ditebang umumnya yang telah berbunga karena pohon
sagu yang demikian mengandung banyak pati.
• Masyarakat juga memanfaatkan
tumbuhan tali sebagai bahan obat penyakit dalam (direbus), kayu lawang untuk
membuat minyak lawang, mengambil kayu buah (macaranga) atau kayu jenis lain
yang berdiameter kecil untuk tiang-tiang rumah, rotan untuk pengikat tiang
rumah, serta mengambil masoi dan gaharu untuk dijual.
Upacara
Adat
Macam acara/upacara adat yang
diselenggarakan oleh suku asli Kabupaten Teluk Wondama, antara lain:
• Wamendereow
Wamendereow, atau ada juga yang
menyebutnya Parwabuk, adalah upacara adat pernikahan. Dalam upacara ini
biasanya seluruh warga kampung berkumpul berkumpul dan menghampar tikar di
kediaman pengantin pria.
• Kiuturu Nandauw
Kiuturu Nandauw, atau biasa juga
disebut Kakarukrorbun, adalah upacara adat potong rambut pertama kali pada anak
berusia 5 tahun.
Selain upacara-upacara adat di atas,
juga terdapat kebiasaan-kebiasaan adat lainnya, seperti : tikam telinga,
membawa anak keluar rumah untuk pertama kali sejak kelahirannya, membuat kajang
rumah kubur, dan membuka pintu rumah baru. Juga terdapat tradisi yang sudah
berlangsung lama yang dilakukan pada perayaan tahun baru, yaitu menggosok muka
dengan arang yang dicampur dengan minyak kelapa.
Pada sebagian masyarakat juga ada
kebiasaan untuk membawa hasil panen pertama ke gereja dan disana berdoa
mengucap syukur dengan harapan hasil panen berikutnya akan lebih baik dan dan
lebih banyak. Sebagai contoh, buah pinang panen pertama dibawa ke gereja dan
setelah berdoa buah pinang tersebut dinikmati bersama dengan anggota jemaat
lainnya.
Kesenian
Masyarakat asli Kabupaten Teluk
Wondama memiliki berbagai bentuk kesenian seperti tari dan musik. Tarian dan
musik digelar pada upacara-upacara adat, pada penyambutan tamu, dan pada
hari-hari besar tertentu. Jenis tarian dan alat musik yang dipergunakan
diantaranya sebagai berikut:
• Ris
Ris atau Sifieris berarti dansa
adat. Dansa adat ini digelar sebagai bagian dari upacara adat dan dilakukan
dengan iringan nyanyian disertai alat musik tifa (pondatu) dan gong (mawon).
Tifa terbuat dari kulit ular. Syair nyayian disesuaikan dengan makna upacara
yang dilakukan.
• Balengan
Balengan adalah tarian pergaulan
yang biasanya dibawakan oleh pemuda-pemudi atau anak-anak remaja di kampung
secara berpasangan. Tarian ini tidak berbeda jauh dengan yosim pancar yang
biasa kita kenal.
Balengan ditarikan mengikuti irama
musik yang dimainkan dengan tempo sedang hingga cepat tergantung dari lagu yang
dilantunkan. Alat musik yang digunakan biasanya terdiri dari: gitar bolong,
gitar kecil yang disebut juglele, gitar bass besar (stand-bass), dan alat musik
tabuh (tifa).
• Suling Bambu
Suling bambu dimainkan dalam
kelompok yang sedikitnya terdiri dari 6 orang. Empat orang memainkan suling
bambu, masing-masing dengan ukuran yang berbeda, menghasilkan suara sopran,
alto, tenor, dan bass. Dua orang lainnya menabuh tifa/tambur dengan diameter
yang berbeda satu sama lain. Tambur biasanya terbuat dari kulit rusa.
Suling bambu dimainkan pada
acara-acara penyambutan tamu, kegiatan gereja/keagamaan, mengantar/menguburkan
jenasah. Untuk acara duka biasanya tidak diiringi dengan tambur.
• Tumbu Tanah
Tumbu tanah atau Tarian Ular
biasanya dilakukan oleh penduduk dari etnis sough. Tumbu tanah ini dilakukan
untuk perayaan-perayaan tertentu. Bagian kepala ular dipimpin oleh satu orang
sambil memegang sebuah parang.
Kerajinan
Kegiatan kerajinan yang dilakukan
secara turun-temurun dan hingga kini masih banyak dilakukan, khususnya oleh
kelompok perempuan, adalah ketrampilan anyam noken dan membuat tikar, termasuk
membuat tikar dari daun palem.
Makanan
Tradisional
• Tau
Tau, atau ada juga yang menyebutnya
Aries, adalah makanan tradisional suku Wamesa. Makanan ini terbuat dari sagu
dan kelapa parut yang dibungkus dengan daun sagu dan kemudian dibakar di atas
bara api. Tau merupakan makanan sehari-hari yang juga disajikan sebagai
pelengkap pada setiap acara adat.
Wilayah Kabupaten Teluk Wondama
- Distrik Wasior
- Distrik Wasior Utara
- Distrik Wasior Selatan
- Distrik Wasior Barat
- Distrik Windesi
- Distrik Wamesa
- Distrik Rumberpon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar