Suku-Suku Di Papua
Diyakini bahwa manusia pertama kali bermigrasi ke pulau Papua lebih dari
45.000 tahun yang lalu. Saat ini populasi suku-suku di papua lebih dari
3 juta orang, dan setengah dari populasi, tinggal di dataran tinggi.
Beberapa komunitas ini telah terlibat dalam konflik suku skala rendah
dengan tetangga mereka selama ribuan tahun.
Suku-suku tersebut berebut lahan, babi dan perempuan. Upaya-upaya besar
dilakukan untuk mengesankan dan menakuti musuh. Suku terbesar, wigmen
Huli, melukis wajah mereka dengan warna kuning, merah dan putih serta
terkenal karena tradisi mereka membuat wig hias dari rambut mereka
sendiri. Kapak dengan cakar sebagai pelengkap agar memberi efek
menakutkan.
2. Suku Asaro
Sejumlah suku yang berbeda telah hidup tersebar di dataran tinggi selama
1000 tahun, di klan agraria yang kecil, terisolasi oleh medan yang
keras dan terbagi dengan bahasa, adat dan tradisi. Suku lumpur Asaro
(Asaro Mudmen) yang legendaris pertama kali bertemu dengan dunia Barat
pada pertengahan abad ke-20.
Legenda mengatakan bahwa Mudmen terpaksa mengungsi dari musuh ke Sungai
Asaro di mana mereka menunggu sampai senja untuk melarikan diri. Musuh
yang melihat mereka bangkit dari tepi-tepi sungai dengan tertutup lumpur
berpikir bahwa mereka roh. Asaro masih menerapkan lumpur dan masker
untuk menjaga ilusi hidup dan menakut-nakuti suku lainnya.
3. Suku Kalam
Bagian timur pulau Papua memperoleh kemerdekaan penuh dari Australia
pada tahun 1975, dan lahirlah negara Papua Nugini.
Para pendatang asing pertama terkesan saat menemukan lembah kebun yang
direncanakan dengan hati-hati dan saluran irigasi. Para wanita dari
suku-suku adalah petani biasa. Para pria berburu dan melawan suku-suku
lain untuk babi dan perempuan. Upaya besar dilakukan untuk mengesankan
musuh dengan topeng menakutkan, wig dan cat.
4. Suku Goroka
Penduduk pribumi pulau terbesar kedua di dunia ini adalah salah satu
yang paling heterogen di dunia. medan yang keras dan perang antar suku
sepanjang sejarah mereka telah menyebabkan isolasi desa dan proliferasi
bahasa yang berbeda.
Mereka hidup sederhana di desa-desa mereka. Para penduduk memiliki
banyak makanan yang baik , keluarga dan menghormati keajaiban alam.
Mereka hidup dengan berburu, mengumpulkan tanaman dan menanam tanaman.
Perang suku adalah hal biasa.
5. Suku Dani (1)
Lembah Baliem terletak 1600 meter di atas permukaan laut di
tengah-tengah pegunungan Jayawijaya Papua Indonesia. Suku Dani tinggal
di lembah yang sebenarnya . Mereka adalah petani dan menggunakan sistem
irigasi yang efisien. Temuan arkeologis membuktikan bahwa lembah telah
di cocok tanami selama 9.000 tahun.
Suku Dani sering harus berjuang untuk wilayah mereka terhadap desa-desa
yang berbeda atau suku-suku lainnya. Itulah sebabnya mereka disebut
paling ditakuti dari seluruh suku pemburu kepala Papua, meskipun suku
Dani tidak memakan musuh-musuh mereka, seperti kebanyakan suku-suku
Papua lainnya lakukan.
6. Suku Yali
Salah satu suku yang mendiami wilayah Lembah Baliem, di tengah-tengah
pegunungan Jayawijaya Papua Indonesia, adalah Yali. Mereka hidup di
hutan-hutan perawan dataran tinggi. Yali secara resmi diakui sebagai
pigmi, karena rata-rata tinggi laki-laki nya hanya 150 cm .
Suku-suku Papua, yang berbeda dalam penampilan dan bahasa, memiliki cara
hidup yang garis besarnya sama. Mereka semua poligamis dan melakukan
ritual untuk acara-acara penting di mana pertukaran timbal balik hadiah
wajib dilakukan. Koteka, penis labu, adalah bagian dari pakaian
tradisional digunakan untuk membedakan identitas kesukuan.
7. Suku Korowai
Selatan pegunungan Jayawijaya Papua Indonesia terdapat area luas dari
dataran rendah. Daerah ini mengakomodasi segudang sungai membentuk rawa,
lahan basah dan hutan mangrove. Ini adalah habitat dari Korowai, suku
yang sampai awal 1970-an , percaya bahwa mereka adalah satu-satunya
manusia di bumi.
Korowai adalah salah satu dari sedikit suku Papua yang tidak mengenakan
Koteka. Sebaliknya, pria ' menyembunyikan' penis mereka di scrotums
mereka, dimana daun kemudian diikat erat . Mereka adalah
pemburu-pengumpul, yang tinggal di rumah pohon. Mereka mematuhi
separatisme yang ketat antara pria dan wanita.
8. Suku Dani (2)
Suku Dani adalah salah satu dari sekian banyak suku bangsa yang terdapat
atau bermukim atau mendiami wilayah Pegunungan Tengah, Papua, Indonesia
dan mendiami keseluruhan Kabupaten Jayawijaya serta sebagian kabupaten
Puncak Jaya.
Mereka mendiami satu wilayah di Lembah Baliem yang dikenal sejak ratusan
tahun lalu sebagai petani yang terampil dan telah menggunakan
alat/perkakas yang pada awal mula ditemukan diketahui telah mengenal
teknologi penggunaan kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang,
bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan kayu galian yang terkenal
sangat kuat dan berat. Suku Dani masih banyak mengenakan ''koteka''
(penutup kemaluan pria) yang terbuat dari kunden/labu kuning dan para
wanita menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di
“honai-honai” (gubuk yang beratapkan jerami/ilalang). Upacara-upacara
besar dan keagamaan, perang suku masih dilaksanakan (walaupun tidak
sebesar sebelumnya).
Suku Dani Papua pertama kali diketahui di Lembah Baliem diperkirakan
sekitar ratusan tahun yang lalu. Banyak eksplorasi di dataran tinggi
pedalaman Papua yang dilakukan. Salah satu diantaranya yang pertama
adalah Ekspedisi Lorentz pada tahun 1909-1910 (Belanda), tetapi mereka
tidak beroperasi di Lembah Baliem.
Kemudian penyidik asal Amerika Serikat yang bernama Richard Archold
anggota timnya adalah orang pertama yang mengadakan kontak dengan
penduduk asli yang belum pernah mengadakan kontak dengan negara lain
sebelumnya. Ini terjadi pada tahun 1935. kemudian juga telah diketahui
bahwa penduduk Suku Dani adalah para petani yang terampil dengan
menggunakan kapak batu, alat pengikis, pisau yang terbuat dari tulang
binatang, bambu atau tombak kayu dan tongkat galian. Pengaruh Eropa
dibawa ke para misionaris yang membangun pusat Misi Protestan di
Hetegima sekitar tahun 1955. Kemudian setelah bangsa Belanda mendirikan
kota Wamena maka agama Katholik mulai berdatangan.
9. Suku Bauzi
Suku Bauzi atau orang Baudi merupakan satu dari sekitar 260-an suku asli
yang kini mendiami Tanah Papua. Oleh lembaga misi dan bahasa Amerika
Serikat bernama Summer Institute of Linguistics (SIL), suku ini
dimasukan dalam daftar 14 suku paling terasing. Badan Pusat Statistik
(BPS) Papua pun tak ketinggalan memasukan suku Bauzi kedalam daftar
20-an suku terasing yang telah teridentifikasi. Bagaimana tidak, luasnya
hutan belantara, pegunungan, lembah, rawa hingga sungai-sungai besar
yang berkelok-kelok di sekitar kawasan Mamberamo telah membuat suku ini
nyaris tak bersentuhan langsung dengan peradaban modern. Kehidupan
keseharian suku ini masih dijalani secara tradisonal.
Sebagai suku yang menempati kawasan terisolir, sebagian lelaki Bauzi
masih mengenakan cawat. Ini berupa selembar daun atau kulit pohon yang
telah dikeringkan lalu diikat dengan tali pada ujung alat kelamin.
Mereka juga memasang hiasan berupa tulang pada lubang hidung. Sedangkan
para wanita mengenakan selembar daun atau kulit kayu yang diikat dengan
tali di pinggang untuk menutupi auratnya. Tapi tidak mengenakan penutup
dada. Pada acara pesta adat dan penyambutan tamu, kaum lelaki dewasa
akan mengenakan hiasan di kepala dari bulu kasuari dan mengoles tubuh
dengan air sagu. Sebagian besar suku ini masih hidup pada taraf meramu,
berburu dan semi nomaden (berpindah-pindah). Karena itu, mereka membuat
sejumlah peralatan seperti, panah, tombak, parang, pisau belati, dan
lain-lain untuk berburu.
Mereka berburu binatang hutan seperti babi, kasuari, kus-kus dan burung.
Buruan itu dimasak dengan cara dibakar atau bakar batu. Selain itu,
Suku Bauzi juga menokok sagu sebagai makanan pokok dan menanam
umbi-umbian. Namun jarang mengkonsumsi sayur-sayuran. Itulah sebabnya
pada anak-anak balita, ibu hamil dan ibu menyusui dari suku ini sering
mengalami gejala kurang gizi dan animea. Meski terbatas, mereka juga
memiliki pengetahuan mengenai cara pengobatan alami dengan memanfaatkan
tumbuh-tumbuhan hutan (etno-medicine). Suku Bauzi sejak awal hidup
secara nomaden, menyesuaikan diri dengan kebutuhan makanan dan
kenyamanan suatu wilayah. Mereka membangun bifak di pinggiran sungai dan
hutan agar membantu proses perburuan, meramu atau berkebun.
Hanya saja, mereka tidak mengenal cara bercocok tanam yang baik. Dengan
bantuan para misionaris, suku ini bisa sedikit mengenal cara-cara
berkebun. Pada perkampungan kecil tempat bermukim, mereka membangun
rumah-rumah gubuk berdinding kulit kayu dan beratap daun rumbia (daun
sagu) atau kulit pohon. Tempat hunian itu dibuat berbentuk rumah
panggung. Hingga kini mereka masih membangun rumah seperti itu. Karena
tergolong suku terasing, sebagian besar suku Bauzi belum bisa berbahasa
Melayu (Indonesia), termasuk tidak bisa baca tulis dan berhitung. Mereka
hanya berkomunikasi secara lisan dengan menggunakan bahasa lokal.
10. Suku Asmat
Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal di
antara sekian banyak suku yang ada di Papua, Irian Jaya, Indonesia.
Salah satu hal yang membuat suku asmat cukup dikenal adalah hasil ukiran
kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa ornamen / motif yang
seringkali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan
patung yang dilakukan oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema
nenek moyang dari suku mereka, yang biasa disebut mbis. Namun tak
berhenti sampai disitu, seringkali juga ditemui ornamen / motif lain
yang menyerupai perahu atau wuramon, yang mereka percayai sebagai simbol
perahu arwah yang membawa nenek moyang mereka di alam kematian. Bagi
penduduk asli suku asmat, seni ukir kayu lebih merupakan sebuah
perwujudan dari cara mereka dalam melakukan ritual untuk mengenang arwah
para leluhurnya.
Suku asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai laut arafuru dan pegunungan jayawijaya, dengan medan yang lumayan berat mengingat daerah yang ditempati adalah hutan belantara, dalam kehidupan suku Asmat, batu yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kimpoi. Semua itu disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya. Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan. Namun hal ini sudah jarang terjadi bahkan hilang resmi dari ingatan. Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.
Suku asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai laut arafuru dan pegunungan jayawijaya, dengan medan yang lumayan berat mengingat daerah yang ditempati adalah hutan belantara, dalam kehidupan suku Asmat, batu yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kimpoi. Semua itu disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya. Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan. Namun hal ini sudah jarang terjadi bahkan hilang resmi dari ingatan. Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.
11. Suku Muyu
Suku Muyu adalah suku asli Papua yang hidup dan berkembang di Kabupaten
Boven Digoel, Papua. Nenek moyang suku Muyu jaman dulu, tinggal di
daerah sekitar sungai Muyu yang terletak di sebelah Timur laut Merauke.
Tersebar di beberapa desa. Oleh beberapa anthropologist, Suku Muyu
disebut “primitive capitalists”.
Suku Muyu dianggap sebagai suku pedalaman yang paling pintar. Orang Suku
Muyu menduduki mayoritas posisi penting dalam struktur birokrasi Boven
Digoel. Dari lebih kurang 1.800 pegawai negeri sipil, sekitar 45
persennya dari Suku Muyu. Beberapa menjadi bupati. Mereka hemat, bekerja
lebih keras dibandingkan suku lain dan sangat menghargai pendidikan.
Orang Muyu juga menyebut dirinya sendiri dengan istilah Kati yang
artinya “manusia yang sesungguhnya”.
Daerah Suku Muyu merupakan wilayah perbukitan dengan banyak batuan
kerikil. Kampung Ikcan di bagian utara dan Kampung Sesnuk pada bagian
selatan telah membatasi wilayah ini. Di bagian timur ada wilayah PNG dan
kampung Kunggembit. Di barat dibatasi oleh Sungai Kao.
Sungai Kao adalah wilayah Suku Mandobo. Secara kepemilikan, sebagian besar tanah di Wilayah Muyu adalah milik Mandobo, misalnya di Distrik Mindiptanah. Jumlah penduduknya menurut data Distrik Mindiptanah dan Waropko, kurang lebih 10.000 jiwa. Bagi orang Muyu, keluarga merupakan unit sosial dan ekonomi yang paling penting. Dengan sistem kekerabatan berupa keluarga inti yang terdiri dari seorang laki-laki dengan satu atau beberapa istri beserta anak. Orang Muyu menunjukkan peran penting keluarga inti dari berbagai bentuk kehidupan, terutama persoalan rumah dan penguasaan tanah juga harta. Mereka tinggal di rumah panggung yang terbuat dari kayu dan daun nibung. Orang Muyu hidup dengan berburu, memelihara babi dan berkebun. Suku Muyu percaya adanya kekuatan mistis paling tinggi yang menciptakan hewan, tanaman, dan sungai-sungai. Mereka juga percaya bahwa arwah orang mati masih mengadakan kontak dengan orang yang masih hidup . Suku Muyu memiliki ilmu pengetahuan tentang bilangan denagn bentuk alat bayar yang namanya Ot. biasanya digunakan sebagai mas kimpoi dan barang tukar dalam upacara pesta babi. Pesta babi digelar untuk mencari Ot sebagai hadiah imbalan dari tamu-tamu yang datang. Barang-barang hasil bumi maupun kapak dan panah diperjualbelikan dengan Ot. Sistem ekonomi ini cukup maju yang akhirnya memotivasi tindakan mereka. Dalam berdangang sistem barter dalam suku Muyu adalah hal yang unik dan efektif hingga kekinian. Dengan bertukar barang, dua orang individu bertukar rasa percaya, dan menjalin relasi yang lebih dari sekedar “penjual-pembeli”. Relasi sebagai teman inilah yang sering menjadikan mereka begitu erat satu sama lain. Mereka pun telah memiliki sistem kebahasaan yang disebut bahasa Muyu. Dalam suku bangsa Muyu atau Kati terdapat sejumlah sub suku dengan wilayahnya masing-masing. Jumlahnya ada delapan, antara lain: Sub suku Kamindip, Sub suku Okpari, Sub suku Kakaib, Sub suku Are, Sub suku Kasaut, Sub suku Jonggom, Sub suku Ninggrum, Sub suku Kawibtet, Sub Suku Kawiptet. Orang Muyu sangatlah sedikit. Saat ini suku Muyu telah berkembang dengan pesat. Jumlah penduduknya ribuan orang. Pada tahun 1980-an banyak di antara mereka yang mengungsi ke PNG di tanah orang, warga Boven Digoel dari suku Muyu ini hidup seadanya. Beberapa anak tidak dapat mengenyam bangku sekolah sewajarnya. Karena mereka tinggal di kampung, dulu paling banyak di sekitar Kiongga, daerah yang berbatasan langsung dengan Distrik Waropko, Boven Digoel
Sungai Kao adalah wilayah Suku Mandobo. Secara kepemilikan, sebagian besar tanah di Wilayah Muyu adalah milik Mandobo, misalnya di Distrik Mindiptanah. Jumlah penduduknya menurut data Distrik Mindiptanah dan Waropko, kurang lebih 10.000 jiwa. Bagi orang Muyu, keluarga merupakan unit sosial dan ekonomi yang paling penting. Dengan sistem kekerabatan berupa keluarga inti yang terdiri dari seorang laki-laki dengan satu atau beberapa istri beserta anak. Orang Muyu menunjukkan peran penting keluarga inti dari berbagai bentuk kehidupan, terutama persoalan rumah dan penguasaan tanah juga harta. Mereka tinggal di rumah panggung yang terbuat dari kayu dan daun nibung. Orang Muyu hidup dengan berburu, memelihara babi dan berkebun. Suku Muyu percaya adanya kekuatan mistis paling tinggi yang menciptakan hewan, tanaman, dan sungai-sungai. Mereka juga percaya bahwa arwah orang mati masih mengadakan kontak dengan orang yang masih hidup . Suku Muyu memiliki ilmu pengetahuan tentang bilangan denagn bentuk alat bayar yang namanya Ot. biasanya digunakan sebagai mas kimpoi dan barang tukar dalam upacara pesta babi. Pesta babi digelar untuk mencari Ot sebagai hadiah imbalan dari tamu-tamu yang datang. Barang-barang hasil bumi maupun kapak dan panah diperjualbelikan dengan Ot. Sistem ekonomi ini cukup maju yang akhirnya memotivasi tindakan mereka. Dalam berdangang sistem barter dalam suku Muyu adalah hal yang unik dan efektif hingga kekinian. Dengan bertukar barang, dua orang individu bertukar rasa percaya, dan menjalin relasi yang lebih dari sekedar “penjual-pembeli”. Relasi sebagai teman inilah yang sering menjadikan mereka begitu erat satu sama lain. Mereka pun telah memiliki sistem kebahasaan yang disebut bahasa Muyu. Dalam suku bangsa Muyu atau Kati terdapat sejumlah sub suku dengan wilayahnya masing-masing. Jumlahnya ada delapan, antara lain: Sub suku Kamindip, Sub suku Okpari, Sub suku Kakaib, Sub suku Are, Sub suku Kasaut, Sub suku Jonggom, Sub suku Ninggrum, Sub suku Kawibtet, Sub Suku Kawiptet. Orang Muyu sangatlah sedikit. Saat ini suku Muyu telah berkembang dengan pesat. Jumlah penduduknya ribuan orang. Pada tahun 1980-an banyak di antara mereka yang mengungsi ke PNG di tanah orang, warga Boven Digoel dari suku Muyu ini hidup seadanya. Beberapa anak tidak dapat mengenyam bangku sekolah sewajarnya. Karena mereka tinggal di kampung, dulu paling banyak di sekitar Kiongga, daerah yang berbatasan langsung dengan Distrik Waropko, Boven Digoel
12. Suku Amungme
Suku Amungme adalah kelompok Melanesia terdiri dari 13.000 orang yang
tinggal di dataran tinggi Papua Indonesia.
Mereka menjalankan pertanian berpindah, menambahnya dengan berburu dan
mengumpul. Amungme sangat terikat kepada tanah leluhur mereka dan
menganggap sekitar gunung suci. Gunung yang dijadikan pusat penambangan
emas dan tembaga oleh PT. Freeport Indonesia merupakan gunung suci yang
di agung-agungkan oleh masyarakat Amungme, dengan nama Nemang Kawi.
Nemang artinya panah dan kawi artinya suci. Nemang Kawi artinya panah
yang suci (bebas perang] perdamaian. Wilayah Amungme di sebut Amungsa.
Hal ini telah menimbulkan gesekan dengan pemerintah Indonesia, yang
ingin mendayagunakan persediaan mineral yang luas yang terdapat di
sekitarnya. Masalah terbesar yang dihadapi Amungme adalah banyaknya
jumlah tambang, dimiliki oleh Amerika Serikat dan Britania Raya,
terletak di pusat wilayah Amungme. Pertambangan emas dan tembaga
besar-besaran telah menghancurkan lansekap dan menuntun ke banyak
protes, yang menimbulkan kekerasan antara penduduk lokal dengan militer
Indonesia.
13. Suku Serui
Dari sejarahnya, Serui adalah suku keturunan Tionghoa. Nenek moyang
mereka adalah perantau yang berasal dari daratan China dan sudah menetap
sejak jaman Belanda. Umumnya berasal dari Tiongkok Selatan.
Para perantau merupakan pedagang yang ingin mencari kehidupan yang lebih
baik. Mereka berlayar ke berbagai negara. Sebagian besar masuk melalui
Laut Cina Selatan menuju Pulau Natuna. Dari sana mereka menyebar ke
berbagai wilayah Nusantara. Para perantau yang masuk ke Serui umumnya
para pedagang yang kalah bersaing di wilayah Makassar. Mereka lalu
menyisir ke arah Maluku Selatan dan sebagian akhirnya sampai di Serui,
di Pulau Yapen Waropen.
Sebagian perantau kemudian memilih menetap dan menikah dengan perempuan
lokal. Keturunan mereka inilah yang kemudian lahir berbeda dengan
penduduk asli. Perpaduan darah Tiongkok dan Serui menghasilkan keturunan
yang berkulit putih berambut lurus, berkulit putih berambut keriting
atau berkulit sawo matang dan keriting. Mereka fasih berbahasa Serui dan
dipanggil “Perancis” alias Peranakan Cina Serui.
Ada keyakinan sebagian orang bahwa pada mulanya perkimpoian antar
perantau dan penduduk asli semata untuk kepentingan bisnis. Guna
mendapatkan tenaga kerja murah, para perantau menikahi perempuan
setempat. Pernikahan tersebut otomatis menjadikan sang perantau sebagai
bagian dari suku di sana. Dengan status tersebut, mereka dapat
menggerakan para pemburu buaya atas nama sesama suku dan bisa
mendapatkan tenaga kerja murah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar