Jumat, 16 September 2016



STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI KERAKYATAN KABUPATEN JAYAPURA
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi tahun 2007 yang di rencanakan oleh pemerintah Indonesia merupakan bagian yang integral dari proses yang berkelanjutan untuk mencapai tujuan jangka panjang meningkatkan kemajuan dan kemakmuran bangsa serta kesejahteraan bagi segenap penduduknya di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini akan dapat diwujudkan bila pertumbuhan ekonomi berlangsung secara berkelanjutan, stabilitas moneter dan sektor keuangan dapat tetap terjaga, dan hasil dari peningkatan kegiatan perekonomian dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat secara berkeadilan.
Proses peningkatan kemajuan dan kemakmuran bangsa mengalami gangguan karena Indonesia dilanda krisis ekonomi yang berat pada tahun 1997. Dampak dari krisis tersebut berkepanjangan dan telah memporak-porandakan berbagai sistem dan sendi kehidupan bangsa Indonesia. Kondisi terpuruk ini selanjutnya memunculkan kesadaran akan perlunya perubahan dan perbaikan (reformasi) yang sinergis di berbagai bidang pembangunan, termasuk di dalamnya reformasi bidang ekonomi. Dengan tekad yang bulat untuk bisa segera keluar dari krisis dan mencapai keadaan yang lebih baik dan kokoh dari sebelumnya, berbagai agenda reformasi kemudian dirumuskan. Upaya-upaya tersebut telah berhasil mengembalikan stabilitas ekonomi makro yang cukup kuat bagi landasan kebangkitan ekonomi. Namun demikian, berbagai upaya di dalam mewujudkan kebangkitan masih tersendat karena beratnya permasalahan bangsa yang dihadapi. Sejumlah agenda reformasi yang meskipun telah dituangkan belum sepenuhnya dapat berjalan sesuai harapan.
Salah satu penyebab utama lambatnya pemulihan ekonomi adalah keterpurukan sektor riil yang sangat mendalam. Banyak faktor menjadi penyebab sulitnya sektor riil untuk bangkit kembali. Daya saing perekonomian nasional yang terus merosot karena kualitas tenaga kerja yang tersedia yang belum memadai, dan kelembagaan ekonomi yang tidak berkembang sesuai tuntutan kemajuan. Selain itu, masih banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menuntut perhatian khusus sehingga secara tidak langsung mempengaruhi kemampuan negara untuk hanya sekedar memfokuskan diri pada pertumbuhan dan peningkatan daya saing. Fungsi intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya berjalan pada gilirannya berakibat pada keterbatasan ruang gerak sektor riil. Di luar berbagai faktor ekonomi di atas, berbagai perubahan kondisi sosial politik termasuk di dalamnya perubahan kewenangan antartingkat pemerintahan telah memperburuk iklim usaha karena banyaknya tumpang tindih peraturan. Bagi penyelenggaraan usaha hal ini mengakibatkan membumbungnya praktik-praktik ekonomi biaya tinggi yang menghambat peluang berusaha, terutama bagi pelaku skala kecil dan menengah.
Belum terjadinya peningkatan yang signifikan minat masyarakat dunia usaha untuk melakukan investasi di Indonesia antara lain juga disebabkan belum adanya kepastian hukum, belum adanya sinkronisasi berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan investasi, belum konsistennya pelaksanaan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang investasi, belum menariknya insentif investasi yang diberikan oleh Pemerintah, masih rumit dan kompleksnya prosedur perijinan investasi, serta belum cukup tersedianya berbagai sarana dan prasarana pendukung kegiatan investasi. Dengan permasalahan-permasalahan tersebut, nilai persetujuan dan realisasi investasi dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) yang masih jauh lebih rendah dari angka sebelum krisis.
Terkait dengan upaya peningkatan peluang berusaha dan kesempatan kerja, kebijakan pemberdayaan koperasi, dan usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan kehidupan ekonomi bagian terbesar dari rakyat Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan oleh peranan usaha kecil dan menengah (UMKM) yang besar ditinjau dari kontribusinya terhadap pendapatan nasional, jumlah unit usaha dan pengusaha, serta penyediaan lapangan kerja. Kontribusi UMKM dalam PDB pada tahun 2011 adalah sebesar 66,7 persen dari total PDB nasional, sedangkan pada tahun 2009 kontribusi UMKM baru mencapai 45,5 persen dari PDB nasional. Pada tahun 2011, jumlah UMKM sebanyak 32,4 juta, yang bagian terbesarnya berupa usaha skala mikro, dan menyerap lebih dari 10,2 juta tenaga kerja.
Hasil sensus ekonomi yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan dalam waktu sepuluh tahun jumlah unit usaha di Indonesia naik sebanyak 6,3 juta unit dari 16,4 juta pada tahun 1996 menjadi 22,7 unit usaha pada tahun 2006. Kepala BPS Rusman Heriawan (Kompas, Selasa, 2/1/2007) menjelaskan berdasarkan skala usaha, struktur ekonomi Indonesia terbukti didominasi oleh UMKM.
Sejumlah 83,43 persen dari unit usaha di Indonesia dikategorikan sebagai usaha mikro, sedangkan 15,85 persen tergolong usaha kecil. Sementara usaha menengah dan besar di Indonesia hanya tercatat sejumlah 166.400 unit atau kurang dari satu persen terhadap total unit usaha yang ada. Selain itu terdapat 43,03 persen atau 9,8 juta unit usaha di Indonesia tidak mempunyai lokasi usaha yang permanen. Usaha tanpa lokasi permanent menjadi cirri khas ekonomi di Indonesia. 43 persen dari seluruh unit usaha yang tidak mempunyai lokasi usaha permanent itu bersifat informal, misalnya pedagang kaki lima, ojek atau pedagang keliling.
Senses ekonomi 2010 menunjukkan, beragam jenis usaha di luar sektor pertanian secara total menyerap 50 juta tenaga kerja sedangkan sector pertanian menyerap 45 juta orang. Sekitar 77 persen dari 50 juta orang yang bekerja diluar sector pertanian bekerja pada unit usaha yang mempunyai lokasi usaha permanent, selebihnya bekerja tanpa lokasi permanen. Dilihat dari skala usaha 83,7 persen tenaga kerja diluar pertanian bekerja pada usaha mikro dan kecil.
Perdagangan besar dan eceran menurut sensus ekonomi 2006, merupakan kegiatan ekonomi terbesar. Sebesar 10,3 juta atau 45,28 persen dar seluruh unit usaha tercatat bergerak pada sector perdagangan. Kategori usaha yang menonjol selain perdagangan adalah indstri pengolahan (14,17 persen) serta usaha perhotelan/enginapan dan rumah makan (13,26 persen). Usaha mikro diperhitungkan mempunyai omzet kurang dari Rp 50 juta per trahun, sedangkan usaha kecil mempunyai asset 50 juta sampai 1 milyar pertahun. Usaha mikro pada industri pengolahan mempunyai tenaga kerja 1 sampai 4 orang sedangkan usaha kecil mempunyai tenaga kerja 5 sampai 19 orang.
Perkembangan yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum diimbangi dengan perkembangan kualitas KUMKM yang masih menghadapi permasalahan klasik yaitu rendahnya produktivitas. Keadaan ini secara langsung berkaitan dengan: (a) rendahnya kualitas sumber daya manusia khususnya dalam manajemen, organisasi, teknologi, dan pemasaran; (b) lemahnya kompetensi kewirausahaan; (c) terbatasnya kapasitas UMKM untuk mengakses permodalan, informasi teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Sementara itu, masalah eksternal yang dihadapi oleh UMKM di antaranya: (a) besarnya biaya transaksi akibat kurang mendukungnya iklim usaha; (b) praktik usaha yang tidak sehat; dan (c) keterbatasan informasi dan jaringan pendukung usaha. Selain itu, UMKM juga menghadapi tantangan terutama yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan bersamaan dengan cepatnya perkembangan teknologi.
Kemampuan UMKM untuk bersaing di era perdagangan bebas, baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor, sangat ditentukan oleh dua kondisi utama yang perlu dipenuhi. Pertama, lingkungan internal UMKM mesti kondusif, yang mencakup aspek kualitas SDM, penguasaan teknologi dan informasi, struktur organisasi, sistem manajemen, kultur/budaya bisnis, kekuatan modal, jaringan bisnis dengan pihak luar, dan tingkat kewirausahaan (entrepreneurship). Kedua, lingkungan eksternal harus juga kondusif, yang terkait dengan kebijakan pemerintah, aspek hukum, kondisi persaingan pasar, kondisi ekonomi-sosial-kemasyarakatan, kondisi infrastruktur, tingkat pendidikan masyarakat, dan perubahan ekonomi global. Selain kedua kondisi tersebut, strategi pemberdayaan UMKM untuk dapat memasuki pasar global menjadi sangat penting bagi terjaminnya kelangsungan hidup UMKM.
Di samping itu, otonomi daerah yang diharapkan mampu menumbuhkan iklim usaha yang kondusif bagi KUMKM, ternyata belum menunjukkan kemajuan yang merata. Sejumlah daerah telah mengidentifikasi peraturan-peraturan yang menghambat sekaligus berusaha mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dan bahkan telah meningkatkan pelayanan kepada KUMKM dengan mengembangkan pola pelayanan satu atap. Namun masih terdapat daerah lain yang memandang KUMKM sebagai sumber pendapatan asli daerah dengan mengenakan pungutan-pungutan baru bagi KUMKM sehingga biaya usaha KUMKM meningkat.
Pada tahun 2009 tercatat sumbangan laju PDB UMKM adalah sebesar 2,37 persen dari laju PDB nasional sebesar 4,1 persen. Dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi nasional ke depan serta mengurangi pengangguran dan sekaligus untuk mampu bersaing dalam pasar global dan dinamika perubahan situasi dalam negeri, maka pengembangan UMKM perlu mempertimbangkan aspek potensial yang ada, yaitu: (a) seyogyanya mulai meningkatkan pengembangan UMKM untuk lebih proporsional menerapkan perpaduan antara tenaga kerja terdidik dan terampil dengan adopsi penerapan teknologi; (b) UMKM di sektor agribisnis dan agroindustri, karena prospeknya yang sangat menarik, perlu didukung oleh meningkatnya kemudahan dalam pengelolaan usaha, seperti status kepemilikan tanah, ketersediaan bahan baku (jumlah dan kualitas), teknologi, informasi pasar dan SDM serta oleh berkembangnya wadah organisasi usaha bersama yang sesuai dengan kebutuhan dan efisien, seperti antara lain asosiasi produsen dan koperasi; (c) sumber permodalan UMKM harus semakin berkembang dengan meluasnya akses terhadap sumber permodalan yang memiliki kapasitas dukungan lebih besar seperti perbankan; (d) pengembangan usaha menengah yang kuat merupakan pilihan strategis yang dapat diandalkan untuk mendukung proses industrialisasi, perkuatan keterkaitan industri, percepatan pengalihan teknologi, dan peningkatan kualitas SDM. Peran, ini juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan industri besar nasional terhadap impor input antara; (e) penyederhanaan prosedur pendaftaran usaha dan penyediaan insentif bagi usaha informal, khususnya yang berskala mikro, diprioritaskan dalam rangka perlindungan, kesetaraan berusaha dan kontinuitas peningkatan pendapatan; dan (f) pengintegrasian pengembangan usaha dalam konteks pengembangan regional. Tujuannya selain untuk menyesuaikan dengan karakteristik pengusaha dan jenis usaha di setiap daerah dan setiap sektor usaha, juga untuk memperluas kegiatan ekonomi yang lebih merata
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah dalam penelitian yang berjudul Strategi Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Kabupaten Jayapura ini adalah:
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan kurang berkembangnya ekonomi kerakyatan di Kabupaten Jayapura?
2. Sejauhmana efektivitas kebijakan Pemerintah Kabupaten Jayapura dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan?
3. Bagaimana strategi pengembangan ekonomi kerakyatan di Kabupaten Jayapura?
C. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian Strategi Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Kabupaten Jayapura antara lain :
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya ekonomi kerakyatan di Kabupaten Jayapura.
2. Mengetahui efektifitas kebijakan Pemerintah Kabupaten Jayapura dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan.
3. Merumuskan Strategi pengembangan ekonomi kerakyatan di Kabupaten Jayapura.
D. Hasil Yang Diharapkan
Hasil penelitian Strategi Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Kabupaten Jayapura diharapkan:
1. Didapatkannya data base faktor-faktor yang menyebabkan ekonomi kerakyatan kurang berkembang di Kabupaten Jayapura.
2. Tersedianya Model strategi pengembangan ekonomi kerakatan di Kabupaten Jayapura dalam berbagai pola, strategi dan prioritas yang dapat dikembangkan.
E. Manfaat Kegiatan
Manfaat Penelitian Strategi Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Kabupaten Jayapura yang dilakukan di harapkan:
1. Secara akademis, diharapkan mampu memberikan sumbangan ilmiah bagi kajian pengembangan ekonomi kerakyatan daerah khususnya di Kabupaten Jayapura.
2. Secara Praktis, diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan tentang pengembangan ekonomi kerakyatan di Kabupaten Jayapura diantaranya:
a. Memetakan berbagai permasalahan masyarakat yang dihadapi dalam mengembangan ekonomi kerakyatan di Kabupaten Jayapura.
b. Meningkatkan keterlibatan stakeholder dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan di Kabupaten Jayapura sehingga dapat menjadi mitra yang baik untuk peningkatan kesejahteraan, mengatasi kemiskinan dan mengurangi pengangguran.
F. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pembangunan Ekonomi Indonesia
Yang dimaksud dengan Pembangunan Nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, yang pelaksanaannya melalui program-program pembangunan jangka panjang. Pembangunan Daerah menurut Blakely (1994) : suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang tersedia dan membentuk pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan swasta untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut . Pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional, diarahkan untuk mengembangkan daerah dan menyelaraskan laju pertumbuhan antar daerah, antar kota, antar desa, antara kota dan desa, antar sektor, serta pembukaan dan percepatan daerah tertinggal, disesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah yang bersangkutan. Pembangunan merupakan proses transformasi yang ditandai dengan perubahan struktural yang berupa perubahan pada landasan ekonomi suatu masyarakat. Dalam prosesnya, pembangunan ditandai dengan peningkatan produksi, pola penggunaan (alokasi), distribusi pendapatan diantara pelaku ekonomi, serta perubahan pada kerangka kelembagaan
Pada akhir tahun tujuh puluhan pertumbuhan ekonomi telah banyak diteliti oleh para ekonom, tetapi belum ada kesepakatan tentang penyebab terjadinya pertumbuhan tersebut. Beberapa ekonom mengikuti aliran Neoklasik, dengan menekankan pada penyediaan tenaga kerja, stok modal, dan perubahan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Pendekatan ini berdasarkan asumsi bahwa pasar dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien dan adanya perbedaan pertumbuhan regional sebagai akibat dari alokasi sumber daya yang memenuhi kriteria Pareto optimal. Ekonom lainnya mengikuti aliran Keynesian dan menekankan pada faktor permintaan. Pendekatan aliran Keynesian ini menempatkan isu sentral pada eksport regional sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. Bagian yang paling menarik dari teori pertumbuhan regional adalah adanya prinsip penyebab yang menetap (persistence) sebagai faktor pertumbuhan untuk menjelaskan perbedaan pertumbuhan regional Saat ini banyak ekonom yang tertarik kembali untuk melakukan studi di bidang pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan oleh adanya teori baru yang memprediksi pentingnya memasukkan faktor eksternalitas berupa inovasi teknologi dan sumber daya manusia (SDM) sebagai faktor penggerak pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan teori ini telah dilakukan studi di berbagai negara dan memperlihatkan bahwa karakteristik awal dari sistem perekonomian suatu negara dapat menyebabkan perbedaan pertumbuhan pendapatan perkapita. Beberapa studi empiris lebih jauh menjelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya perbedaan pertumbuhan lainnya baik untuk tingkat regional maupun kota . Pertumbuhan regional merupakan merupakan topik studi yang menarik karena merupakan unit terkecil yang sudah mempunyai bentuk perekonomian terbuka dan sering ada faktor non ekonomi yang berperan dalam memperngaruhi pertumbuhan ekonomi, misalnya : keragaman suku, budaya, dan sistem politik.
Sesungguhnya, teori pertumbuhan saat ini telah mengalami banyak perkembangan. Beberapa factor pertumbuhan selain tenaga kerja dan modal telah dicoba untuk dimasukkan dalam studi dengan memperluas pengertian tentang perkembangan teknologi. Di samping itu beberapa asumsi diubah supaya lebih realistis. Dalam teori pertumbuhan saat ini, baik modal maupun tenaga kerja di suatu negara dianggap dapat bebas berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain. Sehingga pertumbuhan di suatu wialayah tidak hanya disebabkan oleh tingkat tabungan dan endowment tenaga kerja saja. Penyebab lain dari perbedaan pertumbuhan yang penting ada dua macam faktor, yaitu : pertumbuhan produk marginal dan dis-utility kerja marginal. Dua faktor ini sering disebut faktor produktivitas dan faktor kualitas hidup. Produktivitas dan kualitas hidup dari suatu wilayah dapat berlainan dengan wilayah lain karena perbedaan karakteristik awal dari wilayah tersebut.
Tujuan Pembangunan ekonomi dan pembangunan pada umumnya yakni untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat sehingga masyarakat dapat hidup sejahtera jauh dari kemiskinan yang merupakan masalah utama pembangunan. Seseorang di katakan sejahtera jika ia mampu memenuhi kebutuhannya baik jasmani maupun rohani.
Terdapat dua aspek utama dalam kajian teoritis yaitu aspek produksi dan distribusi. Pembangunan harus dilaksanakan paling awal dengan suatu proses produksi yaitu kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Banyak faktor yang terlibat dalam proses produksi diantaranya sumberdaya manusia, teknologi, natural endowment yang di miliki oleh masyarakat dll. Permasalahan yang sering muncul adalah bagaimana produk yang dihasilkan mempunyai nilai keunggulan komparatif di bandingkan dengan produk lain yang di hasilkan didaerah lain.
Menurut Mubyarto (2003) Konsep pembangunan ekonomi melalui konsep Growth Pole yang diaplikasikan mulai tahun 1970-an dinilai justru memperlebar ketimpangan antara kota dan desa. Efek penjalaran pertumbuhan (spread effect) yang diperkirakan terjadi oleh Myrdal dan Efek penetesan (trickling down effect) yang diramalkan oleh Hirshman ternyata jauh lebih kecil dibandingkan Back Wash Effect dan Polarization yang mengakibatkan aliran ke pusat jauh lebih besar dari pada aliran ke desa. Akibatnya dikotomi kota dan desa justru semakin lebar, pebedaan antara si kaya dan si miskin juga semakin lebar. Terjadi perpindahan penduduk secara besar-besaran dari desa ke kota besar (urbanisasi) .
Sementara Menurut Glasson , perekonomian regional dapat dibagi menjadi dua sektor yaitu kegiatan-kegiatan basis dan kegiatan-kegiatan bukan basis. Kegiatan-kegiatan basis (basic activities) adalah kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa, dan menjualkannya atau memasarkan produk-produknya keluar daerah. Sedangkan kegiatan-kegiatan ekonomi bukan basis (non basic activities) adalah usaha ekonomi yang menyediakan barang-barang dan jasa-jasa untuk kebutuhan masyarakat dalam wilayah ekonomi daerah yang bersangkutan saja. Artinya kegiatan-kegiatan ekonomi bukan basis tidak menghasilkan produk untuk di eksport keluar daerahnya. Oleh karena itu, luas lingkup produksi mereka itu dan daerah pemasarannya masih bersifat lokal. Menurut teori ini meningkatnya jumlah kegiatan ekonomi basis di dalam suatu daerah, akan meningkatkan jumlah pendapatan daerah yang bersangkutan. Selanjutnya akan meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa di daerah itu dan akan mendorong kenaikan volume kegiatan ekonomi bukan basis (effect multiplier). Sebaliknya apabila terjadi penurunan jumlah kegiatan basis, akan berakibat berkurangnya pendapatan yang mengalir masuk kedalam daerah yang bersangkutan, dan selanjutnya akan terjadi penurunan permintaan terhadap barang-barang yang diproduksi oleh kegiatan bukan basis. Model petumbuhan yang mungkin adalah bagaimana meningkatkan tumbuhnya usaha baru di daerah dengan lingkungan yang sesuai dengan kegiatannya sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru, dimana usaha baru melibatkan masyarakat dan tempat. Oleh sebab itu, investasi dan pedagangan adalah faktor utama pertumbuhan, dimana konsep economic lingkages merupakan efek keterkaitan yang utama untuk menumbuhkan perekonomian suatu daerah. Proses pertumbuhan merupakan proses untuk mencapai tingkat keterkaitan yang tinggi antara forward and backward lingkages (Hirshman, 1978)
Menurut Sakirno (1998) ada 2 faktor penting dalam pertumbuhan suatu daerah: Export of raw material rom the region dan import subsitution . Suatu daerah dapat mengimpor suatu barang tetapi pada saat tertentu dapat menghasilkan barang sendiri dan import substitution merupakan fenomena penting dan menarik karena suatu daerah dapat mengembangkan produk yang dahulunya diimpor. Pertumbuhan ekonomi daerah di dasarkan atas upaya menumbuhkan usaha baru dengan lingkungan yang sesuai dengan kegiatannya sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru.
Teori basis ekonomi (economic base theory) mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan eksport dari wilayah tersebut. Dalam hal ini berarti kegiatan basis (basic activities) adalah kegiatan-kegiatan yang mengekspor barang dan jasa ke tempat di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan atau yang memasarkan barang dan jasa mereka kepada orang yang datang dari luar perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan kebalikannya, kegiatan bukan basis (non basic activities) jika kegiatan dalam menyediakan barang dan jasa di peruntukkan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang berada di dalam batas-batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan.
Berangkat dari pemahaman diatas, semakin bertambah banyak kegiatan basis di dalam suatu daerah ekan menambah arus pendapatan ke dalam daerah yang bersangkutan, menambah permintaan terhadap permintaan barang dan jasa didalamnya dan menimbulkan kenaikan volume kegiatan bukan basis. Sebaliknya, berkurangnya kegiatan basis akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir masuk ke dalam daerah yang bersangkutan dan turunnya permintaan terhadap produk dari kegiatan bukan basis. Maka dari itulah, kegiatan basis mempunyai peranan penggerak pertama (prime mover role) dimana setiap perubahan mempunyai efek multiplier terhadap perekonomian regional.
2. Ekonomi Kerakyatan
Di Indonesia banyak muncul pembicaraan ekonomi yang berpaham rakyat. Seperti ekonomi rakyat, ekonomi kerakyatan dan perekonomian rakyat. Pembicaraan mengenai tiga istilah yang santer ini, menurut Anggito Abimanyu merupakan suatu perlawanan ekonomi rakyat kecil terhadap dominiasi para kongolomerat. Menurut Baswir (1997) diantara istilah tersebut istilah ekonomi kerakyatan adalah yang paling layak. Ekonomi kerakyatan adalah ekonomi yang demokratis atau demokrasi ekonomi. Penjabaran lebih lanjut dapat ditemukan dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau kepemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang perorangan”.
Berdasarkan penggalan kalimat tersebut maka makna ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi dapat dipahami dengan mudah. “Ekonomi kerakyatan adalah suatu situasi perekonomian dimana berbagai kegiatan ekonomi diselenggarakan dengan melibatkan partisipasi semua anggota masyarakat, sementara penyelenggaaraan kegiatan ekonomi pun berada di bawah pengendalian atau pengawasan anggota-anggota masyarakat”. Bila dikaitkan dengan bunyi pasal 33 ayat 1 UUD 1945 tadi, maka situasi perekonomian seperti itulah yang disebut sebagai perekonomian usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan (Baswir, 1997)
3. Peran Usaha MIkro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam pembangunan Ekonomi
UMKM mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi. karena tingkat penyerapan tenaga kerjanya yang relatif tinggi dan kebutuhan modal investasinya yang kecil, UMKM bisa dengan fleksibel menyesuaikan dan menjawab kondisi pasar yang terus berubah. Hal ini membuat UMKM tidak rentan terhadap berbagai perubahan eksternal. UMKM justru mampu dengan cepat menangkap berbagai peluang, misalnya untuk melakukan produksi yang bersifat substitusi impor dan meningkatkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Karena itu, pengembangan UMKM dapat menunjang diversifikasi ekonomi dan percepatan perubahan struktural, yang merupakan prasyarat bagi pembangunan ekonomi jangka panjang yang stabil dan berkesinambungan. Walaupun ada kesepakatan umum tentang pentingnya UMKM bagi pembangunan ekonomi secara menyeluruh, namun belum ada kesepakatan bersama mengenai cara membantu penguatan UMKM. Pelajaran terpenting yang bersumber pada pengalaman internasional adalah pertanyaan tentang “peran negara yang tepat” dalam pembangunan sektor swasta. Ada semacam kesamaan pemikiran yang timbul bahwa lingkungan terbaik bagi pengembangan usaha, yaitu lingkungan di mana pasar input dan ouput bisnis berfungsi secara efektif. Pasar-pasar ini menawarkan beragam layanan jasa yang tepat kepada dunia usaha, yang membantu mereka berkembang. Sementara itu, pemerintah memusatkan perhatian pada fungsi-fungsi utamanya serta pada usaha mewujudkan fungsi-fungsinya secara efisien, dan bukan pada usaha mempengaruhi atau mengacaukan pasar.
4. UMKM dalam pembangunan sosial dan ekonomi
UMKM mempunyai peran yang vital dalam pembangunan ekonomi. Karena intensitas tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dan jumlah investasi yang lebih kecil, maka UMKM dapat lebih fleksibel dalam menghadapi dan beradaptasi terhadap perubahan pasar. Hal ini menyebabkan UMKM tidak terlalu terpengaruh oleh tekanan eksternal dan, karenanya, dapat dengan tanggap menangkap peluang untuk substitusi impor dan meningkatkan supply domestik. Oleh karena itu pengembangan UMKM dapat memberikan kontribusi pada diversifikasi ekonomi dan percepatan perubahan struktur sebagai pra-kondisi pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang stabil dan berkesinambungan. Di samping itu, tingkat penciptaan lapangan kerja dalam kaitan dengan investasi modal di UMKM jauh lebih tinggi daripada yang terjadi di perusahaan besar. Mempertimbangkan kelangkaan modal dalam negeri dan tingginya pertumbuhan angkatan kerja yang berlanjut, maka pengembangan UMKM merupakan elemen kunci dalam setiap strategi penciptaan lapangan kerja dalam negeri. Akhirnya, daya saing nasional tergantung pada daya saing seluruh pelaku ekonomi. Sebagai pemasok input, komponen dan jasa, UMKM mempengaruhi daya saing perusahaan besar, termasuk investor asing yang dapat menciptakan peluang pasar tambahan bagi UMKM. Dengan demikian pengembangan UMKM merupakan suatu elemen terpadu dalam strategi daya saing nasional dan terkait erat dengan kebijakan promosi investasi.
Di Indonesia, secara tradisional pengembangan UMKM menjadi titik pusat kebijakan sosial. Karena UMKM, termasuk usaha mikro, menentukan kesejahteraan sebagian besar penduduk bangsa Indonesia dan di daerah, maka pengembangan UMKM menjadi kunci dalam usaha mengatasi kemiskinan dan pembangunan ekonomi daerah yang lebih berimbang. Namun demikian, standar ganda pengembangan UMKM – yaitu mempunyai tujuan sosial maupun tujuan ekonomi – bukanlah tanpa masalah. Dengan pertimbangan aspek sosial, pemerintah mempunyai kecenderungan mempromosikan dan melindungi ‘golongan ekonomi lemah’. Sayangnya, peraturan dan mekanisme intervensi pemerintah untuk memenuhi tujuan sosial tersebut seringkali menghasilkan beban biaya, hambatan dan inefisiensi yang pada akhirnya justru meredam persaingan, peluang, diversifikasi dan pertumbuhan. Hal ini berdampak buruk pada UMKM yang bukan merupakan focus dukungan atau perlindungan pemerintah, dan berdampak negatif pada daya saing internasional UMKM yang bersangkutan, maupun daya saing perusahaan besar yang mendapat pasokan dari UMKM tersebut. Terdapat banyak pengalaman internasional yang menunjukkan bahwa tindakan dengan maksud baik melindungi golongan ekonomi lemah pada akhirnya justru lebih merugikan daripada menguntungkan karena memperlambat proses penyesuaian struktural yang tidak dapat dihindari secara ekonomis.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, telah timbul konsensus internasional bahwasanya lebih baik mempromosikan dan mendorong penyesuaian dan perubahan struktural, daripada mencoba melindungi UMKM terhadap dampak perubahan, walaupun mungkin tampaknya menyebabkan penderitaan sosial bagi beberapa kelompok. Salah satu sifat UMKM adalah kemampuannya untuk beradaptasi terhadap perubahan dibandingkan dengan perusahaan besar. Oleh karenanya UMKM akan cenderung lebih diuntungkan oleh pertumbuhan ekonomi yang dinamis. Lingkungan terbaik untuk pengembangan bisnis ialah suatu lingkungan dimana pasar – untuk input dan output bisnis – berfungsi secara efektif dalam menyediakan berbagai jasa yang memungkinkan pertumbuhan bisnis. Dalam lingkungan ini, pemerintah seyogyanya berfokus pada fungsi intinya secara efisien daripada membuat distorsi dalam pasar. Pengalaman baru di berbagai negara industri
5. Strategi Pengembangan UMKM
Kebijakan pengembangan UMKM yang efektif harus lebih dari sekedar program-program dukungan finansial dan teknis yang berdiri sendiri tanpa adanya kaitan antara satu dengan yang lain. Agar efektif, kebijakan pengembangan UMKM memerlukan pengkajian dan reorientasi peran pemerintah dalam banyak aspek. Hal-hal utama dalam reorientasi antara lain adalah:
a. menjamin adanya “good governance” untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi;
b. menstimulasi lingkungan yang mendorong daya saing guna menciptakan lebih banyak kesempatan berusaha dan akses kepada sumber daya produktif;
c. meningkatkan peran serta sektor swasta dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan;
d. penarikan diri pemerintah dari pemberian jasa layanan secara langsung;
e. melembagakan kegiatan kaji ulang berbagai peraturan secara berkala;
f. menyederhanakan alat dan struktur pendukung untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi administratif, dan
g. meningkatkan akses ke informasi yang relevan bagi UMKM, asosiasi usaha, para pengelola jasa pengembangan usaha dan pembuat kebijakan.
Dari sisi pelaksanaan, disarankan untuk menggunakan pendekatan penguatan UMKM yang berbasis klaster, dengan menekankan dukungan terhadap: a). proses “clustering” secara “bottom up” di daerah, dan b). peningkatan ‘sektor-sektor yang ter-klaster” yang relevan secara nasional, melalui seperangkat alat-alat dan langkah-langkah tertentu untuk memperkuat pasar.
6. Program Penciptaan Iklim Usaha KUMKM
Tujuan program ini adalah untuk memfasilitasi terselengggaranya lingkungan usaha yang efisien secara ekonomi, sehat dalam persaingan, dan non-diskriminatif bagi kelangsungan dan peningkatan kinerja usaha KUMKM.
Sasaran program adalah berkurangnya hambatan, menurunnya biaya usaha, meningkatnya skala usaha, mantapnya landasan legalitas bagi KUMKM, meningkatnya partisipasi stakeholders dalam perencanaan dan pemantauan kebijakan dan program, serta meningkatnya mutu layanan birokrasi yang mendorong pengembangan KUMKM.
Program ini memuat kegiatan-kegiatan pokok sebagai berikut:
1. Menuntaskan penyempurnaan peraturan perundangan dan ketentuan pelaksanaannya dalam rangka membangun landasan legalitas usaha yang kuat, penyederhanaan birokrasi, perijinan, lokasi, dan peninjauan terhadap pemberlakuan berbagai pungutan biaya usaha baik yang sektoral maupun spesifik daerah;
2. Memfasilitasi dan penyediaan kemudahan dalam formalisasi badan usaha KUMKM;
3. Meningkatkan kelancaran arus barang, baik bahan baku maupun produk, dan jasa yang diperlukan seperti kemudahan perdagangan antardaerah dan pengangkutan;
4. Meningkatkan kemampuan aparat dalam melakukan perencanaan dan penilaian regulasi, kebijakan dan program;
5. Mengembangkan pelayanan perijinan usaha yang mudah, murah dan cepat, mengembangkan unit penanganan pengaduan bagi KUMKM, dan penyediaan jasa advokasi/mediasi yang berkelanjutan;
6. Melaksanakan asesmen dampak regulasi/kebijakan nasional dan daerah terhadap perkembangan dan kinerja KUMKM, dan pemantauan pelaksanaan kebijakan/regulasi;
7. Mengembangkan peranserta para pelaku dan instansi terkait dalam perencanaan kebijakan dan program KUMKM yang partisipatif dan koordinatif; dan
8. Penguatan gerakan koperasi.
7. Program Pengembangan Industri UMKM
Tujuan program ini adalah memberdayakan dan mengembangkan industri kecil dan menengah agar mampu berperan dalam memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi, terutama perluasan kesempatan kerja.
Sasaran program ini adalah tumbuhnya wirausaha baru, meningkatnya daya saing, dan meluasnya diversifikasi jenis produk. Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah:
1. Pengembangan wirausaha baru;
2. Pengembangan produksi dan teknologi;
3. Pengembangan IKM melalui pemanfaatan bahan baku berbasis SDA;
4. Peningkatan penggunaan komponen lokal industri perakitan dalam negeri;
5. Pengembangan teknologi tepat guna seperti engine murah untuk mesin peralatan pertanian;
6. Pengembangan kemitraan usaha seperti. penetrasi pasar produk supporting industries;
7. Perluasan penerapan HAKI;
8. Program Pembinaan Industri Rumah Tangga, Industri Kecil Dan Menengah
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas pelayanan dasar kelembagaan industri rumah tangga, industri kecil dan menengah.
Sasaran program ini adalah tersedianya pelayanan dasar yang berkualitas dalam bentuk kebijakan dan pelayanan informasi kepada masyarakat, terutama pelaku usaha di bidang industri rumah tangga, industri kecil dan menengah. Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah:
1. Menyediakan kebutuhan sarana dan prasarana operasional kelembagaan yang menangani kegiatan industri rumah tangga, industri kecil dan menengah;
2. Mengembangkan kemampuan sumberdaya manusia di bidang industri rumah tangga, industri kecil dan menengah;
3. Mengembangkan kerjasama antar lembaga yang berkaitan kegiatan industri rumah tangga, industri kecil dan menengah; dan
4. Menyiapkan berbagai rekomendasi kebijakan internal dalam meningkatkan kinerja kelembagaan industri rumah tangga, industri kecil dan menengah.
9. Program Pengembangan Kewirausahaan Dan Daya Saing KUMKM
Program ini bertujuan untuk mengembangkan perilaku kewirausahaan serta meningkatkan daya saing KUMKM.
Sasaran yang akan dicapai adalah berkembangnya pengetahuan serta sikap wirausaha, meningkatnya produktivitas, berkembangnya ragam produk-produk unggulan KUMKM, dan tumbuhnya koperasi yang sesuai dengan jatidiri dan nilai-nilai serta prinsip dasar perkoperasian. Kegiatan-kegiatan pokok dari program ini antara lain mencakup:
1. Penyediaan sistem insentif dan pembinaan untuk memacu pengembangan KUMKM berbasis teknologi;
2. Pemasyarakatan kewirausahaan dan mengembangkan sistem insentif bagi wirausaha baru, termasuk yang berkenaan dengan aspek pendaftaran/ijin usaha, lokasi usaha, akses pendanaan, perpajakan dan informasi pasar;
3. Pengembangan inkubator teknologi dan bisnis, termasuk melalui kemitraan publik, swasta dan masyarakat;
4. Penyediaan insentif dan dukungan bagi pengembangan inovasi dan teknologi untuk mendukung UMKM dan wirausaha baru berbasis teknologi, utamanya UMKM berorientasi ekspor, subkontrak/penunjang, agribisnis/agroindustri dan yang memanfaatkan sumberdaya lokal;
5. Pengembangan jaringan produksi dan distribusi melalui pemanfaatan teknologi informasi, pengembangan usaha kelompok dan jaringan antar KUMKM dalam wadah koperasi serta jaringan antara KUMKM dan usaha besar melalui kemitraan usaha; serta
6. Pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan perkoperasian bagi anggota dan pengelola koperasi;
7. Peningkatan kualitas pengusaha kecil dan menengah (PKM), termasuk wanita PKM, menjadi wirausaha yang memiliki semangat kooperatif.
10. Program Pengembangan Sistem Pendukung Usaha KUMKM
Program ini bertujuan untuk mempermudah, memperlancar dan memperluas akses KUMKM kepada sumberdaya produktif agar mampu memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumberdaya lokal serta meningkatkan skala usahanya.
Sasaran yang ingin dicapai adalah tersedianya lembaga pendukung/penyedia yang terjangkau dan bermutu untuk meningkatkan akses KUMKM terhadap sumberdaya produktif, seperti sumberdaya manusia, modal, pasar, teknologi, dan informasi, meningkatnya fungsi intermediasi lembaga-lembaga keuangan bagi KUMKM, dan meningkatnya jangkauan layanan lembaga keuangan.
Kegiatan-kegiatan pokok dari program ini antara lain mencakup sebagai berikut:
1. Penyediaan fasilitasi dan peraturan untuk mengurangi hambatan akses KUMKM terhadap sumber daya produktif, termasuk sumber daya alam;
2. Peningkatan peranserta dunia usaha/masyarakat dalam bidang usaha layanan teknologi, manajemen, pemasaran, informasi dan konsultan usaha melalui penyediaan sistem intensif dan kemudahan usaha;
3. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas layanan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan KSP/ USP antara lain melalui perlindungan status badan hukum, kemudahan perijinan dan pembentukan sistem jaringan antar LKM, peningkatan kualitas dan akreditasi KSP/USP/LKM sekunder, dan antara LKM dan Bank;
4. Perluasan sumber pembiayaan KUMKM disertai dengan pengembangan biro kredit dan sistem penilaian kredit (credit scoring system) dan jaringan informasinya;
5. Peningkatan kemampuan lembaga penyedia jasa pengembangan usaha, teknologi dan informasi bagi KUMKM di tingkat lokal serta penciptaan sistem jaringannya melalui dukungan penguatan manajemen dan dana padanan;
6. Pengembangan sistem insentif, akreditasi, sertifikasi dan perkuatan lembaga-lembaga pelatihan serta jaringan kerjasama antarlembaga pelatihan;
7. Pengembangan unit pelatihan dan penelitian dan pengembangan (litbang) milik berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah menjadi lembaga pengembangan usaha KUMKM;
8. Penataan dan perkuatan organisasi dan modernisasi manajemen koperasi yang menjadi wadah bagi UMKM untuk meningkatkan skala usaha yang ekonomis dan efisien secara bersama; dan
9. Penguatan jaringan pasar produk KUMKM, termasuk pasar ekspor, melalui pengembangan lembaga pemasaran, jaringan usaha termasuk kemitraan usaha; dan
10. Peningkatan diseminasi dan pelayanan informasi kepada KUMKM dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, H and J. Taylor (1993) Regional Economics and Policy, Harvester Wheatsheaf, New York.
A.H.J. Helmsing (2001). Local economic development: new generations of actors, policies and instruments. Draft paper for the 2001 Cape Town Symposium.
Bambang Wicaksono, Diskusi Kelompok Terarah dalam Agus Dwiyanto, 2005, Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik, Japan Internasional Corporate Agency (JICA) dan Gadjah Mada University Press
Baswir, Revrisond, 1997, dalam Modul Pembekalan Teknis Aparat Pengelola Pedagang Kali Lima (PKL) / Pemberdayaan sektor Informal
Blakely, Edward J. 1998, Planning Local Economic Development: Theory and Practice, Sage Publications
Bradley, R. and J.S. Gans (1998) Growth in Australian Cities, The Economic Record, Vol. 74, No. 226, The Economic Society of Australia
Bryman, A., 1988, Quantity and Quality in Social Research, Unwin Hyman, London. Neuman, W.L., 200, Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approach, Ally and Bacon, Bosto
Cullis, J., and P. Jones. 1992. Public Finance and Public Choice Analitical Perspectives. Mc Graw-Hill Book Co. London
Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Glasson John, 1997, Regional Development, Hutchinson of London
GTZ Local Economic Development Position Paper (draft 2004): What makes LED LED?
Irwanto, 1998 dalam Modul III Pengertian Dasar Participatory Local Social Development
Kompas, Selasa, 2/1/2007
Modul Participatory Local Social Development (PLSD)Versi Perencana, PSKM-UNHAS-JICA Indonesia, 1-10 Agustus 2005
Maliza and Feser, “Understanding Local Economic Development”, Center for Urban Policy Research, New Jersey, 1999
Mubyarto, Teori Investasi Dan Pertumbuhan Ekonomi, Artikel – Th. II – No. 4 – Juli 2003
Musgrave, R. A., P.B. Musgrave. 1989. Public Finance in Theory and Pracrice 3th ed. Mc Graw-Hill Book Co. New York, USA
Syahrir. 1995. Meramal Ekonomi Di Tengah Ketidakpastian. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sukirno, Sudono, 1998, Pengantar Teori Makroekonomi, Edisi ke Tiga, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Todaro, M. 1989. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar